infobombana.com

Informasi Terkini dan Inspirasi

Kerajaan Moronene Ternyata Punya Hubungan Spesial Dengan Kerajaan Luwuk

Samril infobombana.com
Ilustrasi

Oleh:Febry Aristian

INFOBOMBANA.COM, EDUKASI Dalam sejarah Moronene, dikenal seseorang bernama Dendeangi yaitu adik kandung Raja Luwu yaitu Sawerigading. Oleh kakaknya Sawerigading, Dendeangi diminta pergi ke bagian paling selatan di jazirah tenggara untuk menandai wilayah kekuasaannya.

Wilayah yang dirujuk Sawerigading dikenal saat sekarang sebagai bentangan daratan yang memanjang dari bagian pesisir teluk Bone (Kolaka, sekarang), lalu menyisir berputar sampai ke bagian yang dikenali sebagai pesisir timur (Konawe Selatan, sekarang).

Sawerigading meminta Dendeangi agar mendirikan pemerintahan di sepanjang wilayah yang disebutnya. Memintanya pula untuk menunjuk beberapa orang yang kemudian harus dipersiapkan untuk menunggu kedatangannya.

Ketika Dendeangi masuk ke wilayah Moronene (Bombana) yaitu sekitar abad ke-9 penanggalan Masehi. Saat itulah Dendeangi menandai wilayahnya dengan pijakan kakinya di atas batu

Prosesi menandai wilayah seperti ini kerap kita jumpai di Jawa dan Palembang pada masa peradaban hindu; ada dalam kisah Mulawarman, Sanjaya, dan lainnya.

Dendeangi menghentak kakinya ke batu, yang kemudian lalu pecah. Lelaki itu menunjuk orang-orang disekitarnya (tanpa bicara), dengan maksud merekalah yang menyaksikan kejadian itu dan seharusnya nanti tahu itu sebagai bentuk menandai wilayah kekuasaannya. Batu tersebut sekarang disebut Batu Lateng’u (pecah seperti melengkung; cekung; lesak ke dalam).

Menurut cerita, Orang Moronene dilarang menyebutnya. Hal ini sekadar hendak menghormati tradisi Dendeangi, ketika ia pertama kali memijak batu dengan hentakan keras dan meminta kesaksian orang orang disekitarnya tanpa bicara (hanya mengancungkan telunjuk dan menunjuk masing-masing orang sebagai pertanda kesaksian).

Setelah Dendeangi menyiapkan semua hal seperti yang diperintahkan kakaknya (Sawerigading), maka datanglah Sawerigading ke wilayah tersebut. Dendeangi kemudian dilantik menjadi Mokole (raja) pertama untuk wilayah Kerajaan Moronene.

KononSebelum ke Bombana, Sawerigading sudah lebih dulu ke Mori (Sulawesi Tengah, sekarang) melantik beberapa Mokole di sana.

Seperti kebiasaan orang Yunan Selatan, nenek moyang ras proto melayu, penandaan batas wilayah dilakukan menggunakan patok bambu kuning. Bambu Kuning inilah kemudian yang dijadikan lambang-lambang dan simbol kerajaan.

Wilayah Bombana saat itu sangat luas yaitu meliputi daratan Kolaka (To-ari Kolaka), Poleang, Toburi, Boepinang, Rumbia, hingga ke pesisir To-ari Kendari (Andoolo sekarang).

Atas pelantikan tersebut, Dendeangi diberi gelar Tongki Puu Wonua sebagai tokoh pemimpin baru Sedangkan Sawerigading diberi gelar Tari Marompu.

Pusat kerajaan terletak di Tangkeno Wawolaesa (yang sekarang berada di daerah Pangkuri) Desa Taubonto.

Dengan menguasai wilayah yang sangat luas Dendeangi berhasil memerintah dalam kurun waktu yang cukup lama dan mengalami masa keemasan. Pada masa pemerintahan Dendeangi, kerajaan Bombana bersifat monarki terbuka (lepas dari interfensi kerajaan Luwu). Kerajaan luwu memberikan keluwesan kepada Mokole mengelola wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari Kerajaan Luwu.

Dalam mengelola wilayah yang sangat luas tersebut, Kerajaan Moronene kerap kali mendapatkan ancaman perebutan wilayah kekuasaan dari Kerajaan tetangga. Akhirnya pada masa akhir pemerintahan Mokole ke III, beliau membagi wilayah kepemimpinannya untuk menjaga wilayah Kekuasaannya kepada ahli warisnya. Dalam masa masa sulit tersebut, Kerajaan Bombana di pecah menjadi kerajaan kecil semasa akhir pemerintahan Mokole Bombana Ke-III yaitu Mokole Nungkulangi karena memiliki tiga pewaris, maka Kerajaan Bombana di pecah menjadi tiga kerajaan; yakni

  • Kerajaan Kabaena (diperintah Ratu Indaulu sebagai Mokole Kabaena Ke-I atau Raja Bombana IV),
  • Kerajaan Rumbia (diperintah Ratu Tina Sio Ropa sebagai Mokole Rumbia Ke-I atau Raja Bombana IV), dan
  • Kerajaan Poleang (diperintah Raja Ririsao sebagai Mokole Poleang Ke-I atau Raja Bombana IV).

Pembagian ini sekaligus mengakhiri era hierarki Kerajaan Bombana dan dimulainya era ketiga kerajaan tadi. Sepertinya pertanda kerajaan Bombana akan dipecah menjadi tiga kerajaan kecil, sudah sejak awal diberikan Dendeangi, ketika ia memijak Batu Lateng’u (yang pecah menjadi tiga bagian besar).

Pada masa kepemimpinan selanjutnya, Mokole mokole tersebut berhasil mempertahankan wilayahnya masing-masing hingga masa pemerintahan Mokole Rumbia ke VII.

Mokole Rumbia VII melepas wilayah To-ari Kendari setelah kalah perang melawan Kerajaan Konawe (stambul DPRD Sulawesi Tenggara) yang sekitar dua abad setelahnya. Demikian juga Mokole Poleang yang harus melepas wilayah To-ari Kolaka setelah kalah perang dari Kerajaan Gowa-Tallo. Pelepasan wilayah-wilayah ini tak luput dari pengaruh para pencari rempah dari Eropa (Spanyol dan Belanda). Sementara wilayah kekuasaan Mokole Kabaena tidak berkurang sedikitpun.

Ketika masa pemerintahan Mokole Kabaena VII: Mokole Manjawari, Terjadi persekutuan antara Ke-Mokole-an kabaena dan Kerajaan Buton. Persekutuan tersebut disebabkan oleh kemenangan Mereka dalam mengalahkan La-Bolontio yang kerap mengganggu keamanan di wilayah Kerajaan Buton. Atas kemenangan tersebut pula, Manjawari diberikan kekuasaan sampai ke Wilayah Selayar yang dikenal sebagai Opu Selayar (Pemilik Selayar) oleh Kerajaan Buton dan diberi gelar Sapati Manjawari (Gelar Patih Pertama Kerajaan Buton)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini